BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak awal permasalahan teologis dikalangan umat Islam telah
terjadi perbedaaan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Perbedaan tersebut
tampak melalui perdebatan dalam
masalah kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran
dalam Islam. Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang diperdebatkan bukanlah
akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada malaikat dan lain
sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas bagaimana
sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu termasuk golongan
jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pebedaan tersebut ahirnya menimbulkan berbagai macam aliran
diantaranya. Dalam bab ini kita akan membahas sedikit banyak tentang aliran
Qodariyah dan Jabariyah yang juga timbul akibat dari adanya
permasalahan-permasalahan kalam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah sejarah kalam
al-jabariyah?
2. Apasajakah doktrin-doktrin kalam
al-jabariyah?
3. Bagaimanakah sejarah kalam
al-qodariah?
4. Apasajakah doktrin-doktrin kalam
al-qodariah?
5. Siapasajakah tokoh kalam
al-qodariah?
6. Apakah perbedaan al-jabariayah dan
al-qodariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah kalam
al-jabariyah
2. Mengetahui doktrin-doktrin kalam
al-jabariyah
3. Mengetahui sejarah kalam al-qodariah
4. Mengetahui doktrin-doktrin kalam
al-qodariah
5. Mengetahui tokoh kalam al-qodariah
6. Mengetahui perbedaan al-jabariayah
dan al-qodariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kalam Al-Jabariyah
1.
Sejarah Kalam Al-Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata “jabara” yang berarti
memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1]Kalau
dikatakan, Alloh mempunyai sifat Al-jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu
artinya bahwa manusia di paksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk
pertama),setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah),
memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut asy-Syahratsan
menegaskan bahwa paham al jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam
arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Alloh SWT .[2]Dalam bahasa
Inggris, Jabariyah disebut
fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]
Faham al-jabar pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan
dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan
oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini,
para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa
Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa
kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan
pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[4]Ketergantungan
mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya,
mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada
sikap fatalism.[5]
Sebenarnya benih benih faham al-jabar sudah muncul jauh
sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah,
sebagai berikut:
a.
Suatu
ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[6]
b.
Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika di introgasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar
itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh
karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman
potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir
Tuhan.
c.
Ketika
Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju
perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala
sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qodar Tuhan
bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal
perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa,
gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.
Adanya
paham Jabbariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh
berkembang di Syiria.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariah dalam Islam, ada
teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran
asing, yaitu pengaruh agam Yahudi bermahzab Qurra dan agama Kristen bermahzab
Yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham
al-jabar akan muncul di kalangan umat Islam. Sebab, di dalam Al Qur’an terdapat
ayat-ayat yang menimbulkan paham ini, misalnya:
“Kalau sekiranya Kami
turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara
dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S Al-an’aam : 111)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan
apa yang kamu perbuat itu.” (Q.S. Ash-Shaffat : 96)
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam
pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir Jabariah masih tetap ada
di kalangan umat Islam hingga kini, walaupun anjurannya telah tiada.
2. Para Pemuka dan Doktrin-Doktrin
Kalam Al- Jabariyah
Menurut Asy-Syahrastani, Jabariah itu dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah
ekstrem pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauanya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya,
kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak
sendiri, melainkan qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara
pemuka Jabariah ekstrem
adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin Shafwan (Abu Mahrus Jaham
bin Shofwan)
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwān, ia
berasal dari Khurasan,bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’i yang fasih
dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang
mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia di tawan
kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Banyak usaha
yang dilakukannya untuk menyebarkan paham Jabariyah, di antaranya bepergian
keberbagai tempat untuk menyebarkan paham ini, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Paham Jabariyah yang dibawa oleh Jahm bin Shofwan disebut
dengan nama Jahmiyyah. Berikut ini
adalah beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan teologi, yaitu:
1.
Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.
Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.
Iman
adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Barang siapa
yang inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan
ma’rifat tidak bisa lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan
semua hamba setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati
tidak dalam perbuatan.
4.
Kalam
Tuhan adalah mahluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak
dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
5.
Adalah
haram hukumnya menerapkan suatu sifat kepada Allah yang juga dapat diterapkan
kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini berarti terdapat keserupaan antara Allah
dan makhluk-Nya. Dengan demikian, Jahm menolak bahwa Allah bersifat hidup dan
mengetahui, tetapi Jahm mengakui bahwa Allah bersifat kuasa, Allah adalah
pencipta dan pelaku perbuatan. Sebab, kekuasaan, perbuatan, dan penciptaan tak
akan bisa dipertalikan dengan makhluk mananpun.
b. Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulan Bani Hakim, tinggal di
Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang
membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
kontroversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di
sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama
dengan pikiran Jahm. Sebagaimana penjelasan Al-Ghuraby yang dikutip Rosihon
Anwar dan Abdul Rozak menjelaskan sebagai berikut:
1. Al Qur’an itu adalah mahluk. Oleh
karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang
serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariah ekstrem, Jabariah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbutan
baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tokoh yang termasuk Jabariah
moderat adalah sebagai berikut:
a. Al-Najjar (Husain bin Muhammad
An-Najjar)
Diantara
pendapat-pendapatnya adalah adalah:
1.
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2.
Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat memindahkan potensi
hati (makrifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar (Dhirar bin Amr)
1. Ia berpendapat bahwa, manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku
secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan,
tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2. Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat,
Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui “indra keenam”.
B. Kalam
Al-Qodariah
1.
Sejarah Kalam Al-Qodariah
Qadariah
berasal dari bahsa Arab qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Menurut pengertian terminologi, qadariah adalah aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qadariah digunakan untuk nama aliran
yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari
pengertian bahawa pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaiman dikutip oleh Dr. Hadariansyah,
orang-orang yang berpaham Qadariah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakuakan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kapan Qadariah muncul dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua
tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad
Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi (80 H) sekitar tahun
80 H/681 M.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti
dikutip Ahmad Amin, memberikan informasi lain bahwa yang pertama kali
memunculkan paham Qadariah adalah orang Irak yang semula beragama
Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah
Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Dari orang inilah, Ma’bad
dan Ghailan mengambil paham ini.
Sementara itu, W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang
dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini
menjelsakan bahwa paham Qadariah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk
Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Bashri sekitar tahun 700 M.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan
Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah yang hidup setelah Hasan
Al-Basri. Apabila dihubungkan
dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti kutipan
Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan
Al-Bashri. Jadi, sangat mungkin paham Qadariah ini mula-mula dikembangkan Hasan
Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibnu Nabatah dalam
Syarh Al-Uyun yang menyatakan bahwa paham Qadariah berasal dari orang Irak
Kristen yang masuk Islam kemudian kembali masuk ke Kristen, ada kemungkinan
direkayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang
tidak tertarik dengan pemikiran Qadariah.
Berkaitan dengan persoalan
pertama kali Qadariah muncul, Ahmad Amin berpendapat bahwa terdapat kesulitan
untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini
karena ketika itu penganut Qadariah sangat banyak.
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan
pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariah dapat dikatakan lenyap tapi
hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariah itu tertampung dalam Muktazilah.
Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat Islam
ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras
terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution,
karena masyarakat Arab sebelum Islam dipengaruhi paham fatalis. Kedua,
tantangan dari pemerintah.
Faham qodariah memiliki cirri-ciri
tertentu, yaitu :
1.
Mereka
meyakini bahwa mereka berkuasa atas segala perbuatan-perbuatannya; manusia yang
melakukan, baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya.
2.
Paham
takdir dalam pandangan qodariah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai
oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak zaman azali terhadap
dirinya. Dalam paham qodariah, takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak
azali.
2.
Doktrin-Doktrin Kalam Al-Qodariah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah
Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas
di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi antara menyatakan “bahwa
sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan
agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika
Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan
kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat
yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan
qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah,
tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses,
bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang dok trin
Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri
pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri.
Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat di pahami bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab
ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan
terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam
faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam
semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah
Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan
surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di
akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh
tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan
atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir
yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat
lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan
tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian
juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang
beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang
kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat
tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang
dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga
ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat
benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa
gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah
kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup
diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi
daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir
kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat
bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia
kepada perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah
bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham
yang dikembangkan kaum qadariyah diantaranya adalah:
- Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.
- Kaum qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.
- Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah, seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
- Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.
Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman
seputar masalah taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan
berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusia itu
sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang
berpendapat bahwa semua kebaikan dan keburukan penciptanya adalah pelakunya
sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah
menciptakan makhluk, lalu Allah menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut
untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman
ini berarti setelah Allah menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya
menonton kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti inilah
muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah
majusi ummat ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati
jangan kalian saksikan jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami'
ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi 'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah
ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka
dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi.
Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya
banyak pencipta."
3.
Tokoh-Tokoh dan Ajaran Aliran Qadariyah
Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah
yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan
perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia
sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan dayanya sendiri.
AI-Nazam salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa
manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai
istitha'ah, maka dia berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia
dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas
kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh
hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa
nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak
zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
AI-Jubba'i
mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia
berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam
diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh
Abd al-Jabbar,
Untuk
memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik
bersifat rasional maupun nas. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa
perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin
berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin
berbuat sesuatu, maka tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan
tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi,
sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan
terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Beberapa
ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat
argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah
diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
Artinya:
Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil
jalan kepada Tuhannya.(Q.S AL-Muzammil:19)
Artinya:
Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk
merugikan dirinya sendiri.(Q.S
an-Nisa:111)
Ajaran
al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi
kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas
sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya
kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat
dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya
dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak.
Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia
ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan
diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula
menjauhi maut, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati.
Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan
dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama
manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia
sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi
oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah
oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah
membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia
adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api.
Kebebasan
dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam.
Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan
ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa
disalah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan
dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya
merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang
manusia.
C. Perbedaan Paham Jabariyah dan Paham
Qadariyah
Paham
Jabariayah dan Qadariyah dua aliran yang kelihatannya sangat berlawanan,
Jabariyah menghilangkan usaha manusia, sedangkan Qadariyah menghilangkan campur
tangan Tuhan dalam urusan manusia, akan tetapi pada prinsipnya tidak seorangpun
yang bisa mengamalkan seratus persen salah satu aliran tersebut, sebab dalam
sejarahnya orang yang paling Jabariah seperti sahabat Rasul yang konsen hidup
di masjidpun mengeluh tentang kehidupan mereka, begitu pula orang yang sangat
percaya akan kemampuannya sendiri seperti Firaun juga harus bersikap pasrah
ketika terdesak oleh keadaan pada saat itu berupa ditenggelamkan dalam laut
sehingga di meminta pertolongan Tuhan.
Sehingga
sebagai manusia yang punya keterbatasan sebaiknya mengakomodir kedua aliran
tersebut dengan cara mengambil jalan tengah seperti halnya aliran Maturidiyah,
yaitu berusaha sambil berdoa.Meskipun demikian apapun pilihan manusia terhadap
kedua aliran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi penganut Jabariah
mereka akan kenyang dengan kebahagian dan kesejehteraan rohani, sedangkan
Qadariyah akan sejahtera Jasmani.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan
dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara
yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang
ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedangkan paham Qadariyah akan
menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan
Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia
digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Dan dapat disimpulkan bahwa
perbedaan keduanya itu, Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan qadariyah itu
memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan
kehendaknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan
kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat.disebut sebagai
jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya.sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah
karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif
atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai
bahwasannya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia
adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu atas kehendaknya.
Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantaranya adalah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan daya nya
sendiri.
Kedua aliran diatas sagatlah bertolak belakang dalam setiap
pendapat dan doktrin-doktrinnya, dan masing-masing memiliki landasan-landasan
dari Al-Qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.
B.
Saran
Dalam menyusun makalah sejarah dan pemikiran kalam
al-jabariyah dan kalam al-qodariah pastilah makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu bagi para
mahasiswa, pembaca dan khususnya kepada dosen ilmu kalam, kami sangat mengharapkan keritik dan
saran.
DAFTAR PUSTAKA
v Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
v As-Syahrastānī, Al Milal wa Al Nihal, Terjemahan Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2006, h. 72.
v http://ahmad-mubarak.blogspot.in/2008/09/Ilmu-Kalam.html?m=1 (online, di akses pada Rabu, 29 maret 2017 pukul 21.00 WIB)
[3] )
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ui,
Press, Cet, V, Jakarta, 1986, Hlm, 31.
[4] Ahmad
Amin, Fajr Al Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li Ashhabiha Hasan
Muhammad Wa Auladihi, Kairo, 1924, Hlm, 45.
[6] Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam,
Beuneuubi Cipta, Jakarta, 1987,Hlm, 27-29.