Sunshine

Ridnatul Hidayati
Metro, Lampung, Indonesia
View my complete profile
Feeds RSS
Feeds RSS

sejarah dan pemikiran kalam al jabariiyah dan al qodarih



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejak awal permasalahan teologis dikalangan umat Islam telah terjadi perbedaaan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah  kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran dalam Islam. Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang diperdebatkan bukanlah akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada malaikat dan lain sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas bagaimana sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu termasuk golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pebedaan tersebut ahirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya. Dalam bab ini kita akan membahas sedikit banyak tentang aliran Qodariyah dan Jabariyah yang juga timbul akibat dari adanya permasalahan-permasalahan kalam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah kalam al-jabariyah?
2.      Apasajakah doktrin-doktrin kalam al-jabariyah?
3.      Bagaimanakah sejarah kalam al-qodariah?
4.      Apasajakah doktrin-doktrin kalam al-qodariah?
5.      Siapasajakah tokoh kalam al-qodariah?
6.      Apakah perbedaan al-jabariayah dan al-qodariah?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui sejarah kalam al-jabariyah
2.      Mengetahui doktrin-doktrin kalam al-jabariyah
3.      Mengetahui sejarah kalam al-qodariah
4.      Mengetahui doktrin-doktrin kalam al-qodariah
5.      Mengetahui tokoh kalam al-qodariah
6.      Mengetahui perbedaan al-jabariayah dan al-qodariah
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kalam Al-Jabariyah
1.      Sejarah Kalam Al-Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1]Kalau dikatakan, Alloh mempunyai sifat Al-jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya bahwa manusia di paksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Alloh SWT .[2]Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]          
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[4]Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.[5]
Sebenarnya benih benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah, sebagai berikut:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[6]
b.      Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika di introgasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.       Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qodar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.      Adanya paham Jabbariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariah dalam Islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agam Yahudi bermahzab Qurra dan agama Kristen bermahzab Yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat Islam. Sebab, di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang menimbulkan paham ini, misalnya:
 






“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S Al-an’aam : 111)



 “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Q.S. Ash-Shaffat : 96)
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir Jabariah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini, walaupun anjurannya telah tiada.
2.      Para Pemuka dan Doktrin-Doktrin  Kalam Al- Jabariyah
Menurut Asy-Syahrastani, Jabariah itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah ekstrem pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauanya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariah ekstrem adalah sebagai berikut:


a.      Jahm bin Shafwan (Abu Mahrus Jaham bin Shofwan)
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwān, ia berasal dari Khurasan,bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia di tawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Banyak usaha yang dilakukannya untuk menyebarkan paham Jabariyah, di antaranya bepergian keberbagai tempat untuk menyebarkan paham ini, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Paham Jabariyah yang dibawa oleh Jahm bin Shofwan disebut dengan nama Jahmiyyah. Berikut ini adalah beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan teologi, yaitu:
1.      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.      Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3.      Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Barang siapa yang inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan.
4.      Kalam Tuhan adalah mahluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
5.      Adalah haram hukumnya menerapkan suatu sifat kepada Allah yang juga dapat diterapkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini berarti terdapat keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Dengan demikian, Jahm menolak bahwa Allah bersifat hidup dan mengetahui, tetapi Jahm mengakui bahwa Allah bersifat kuasa, Allah adalah pencipta dan pelaku perbuatan. Sebab, kekuasaan, perbuatan, dan penciptaan tak akan bisa dipertalikan dengan makhluk mananpun.



b.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulan Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Sebagaimana penjelasan Al-Ghuraby yang dikutip Rosihon Anwar dan Abdul Rozak menjelaskan sebagai berikut:
1.      Al Qur’an itu adalah mahluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak  dapat disifatkan kepada Allah.
2.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3.      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Berbeda dengan Jabariah ekstrem, Jabariah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbutan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tokoh yang termasuk Jabariah moderat adalah sebagai berikut:
a.      Al-Najjar (Husain bin Muhammad An-Najjar)
Diantara pendapat-pendapatnya adalah adalah:
1.      Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat memindahkan potensi hati (makrifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

b.      Adh-Dhirar (Dhirar bin Amr)
1.      Ia berpendapat bahwa, manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2.      Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui “indra keenam”.

B.     Kalam Al-Qodariah
1.      Sejarah Kalam Al-Qodariah
Qadariah berasal dari bahsa Arab qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi, qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qadariah digunakan untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahawa pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaiman dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakuakan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kapan Qadariah muncul dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi (80 H) sekitar tahun 80 H/681 M.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin,  memberikan informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariah adalah orang Irak yang  semula beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini.
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelsakan bahwa paham Qadariah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Bashri sekitar tahun 700 M.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.  Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti kutipan Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri. Jadi, sangat mungkin paham Qadariah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syarh Al-Uyun yang menyatakan bahwa paham Qadariah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali masuk ke Kristen, ada kemungkinan direkayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik dengan pemikiran Qadariah.
Berkaitan dengan persoalan  pertama kali Qadariah muncul, Ahmad Amin berpendapat bahwa terdapat kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qadariah sangat banyak.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariah itu tertampung dalam Muktazilah.
Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam dipengaruhi paham fatalis. Kedua, tantangan dari pemerintah.
Faham qodariah memiliki cirri-ciri tertentu, yaitu :
1.      Mereka meyakini bahwa mereka berkuasa atas segala perbuatan-perbuatannya; manusia yang melakukan, baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya.
2.      Paham takdir dalam pandangan qodariah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak zaman azali terhadap dirinya. Dalam paham qodariah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak azali.

2.      Doktrin-Doktrin Kalam Al-Qodariah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.

Manusia Mempunyai Qudroh
Ali Mushthafa Al Gurobi antara menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah itu adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”.
Pemahaman yang dimiliki Qodariyah ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat manusia dengan qudrat Tuhan. Qudrat Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang dok trin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat di pahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakun segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memproleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Pendapat Aliran Qodariyah Tentang Taqdir
Faham takdir dalam pandang  Qadariyah  bukanlah dalam pengertian  takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan akhir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah mailiki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip atau ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan. Seperti gajah yang mampu mambawa barang beratus kilogram, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif, demikian pula anggota tubuh lainnya yang dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu, dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil. Manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan. Sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga manusia juga dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat barang yang dibawa gajah. Bahkan lebih dari itu, disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan tuhan.
Hampir semua paham-paham Qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah diantaranya adalah:
  1. Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.
  2. Kaum qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.
  3. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah, seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan dan tingkah laku manusia.
  4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia  mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.
Sebenarnya dalam golongan Qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman seputar masalah taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang berpendapat bahwa semua kebaikan dan keburukan penciptanya adalah pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan makhluk, lalu Allah menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti setelah Allah menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi 'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata. Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya banyak pencipta."

3.       Tokoh-Tokoh dan Ajaran Aliran Qadariyah
Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
AI-Nazam salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha'ah, maka dia berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
AI-Jubba'i mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan per­buatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jabbar,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidaklah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Beberapa ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
Artinya: Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.(Q.S AL-Muzammil:19)
Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S an-Nisa:111)
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian? kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun, sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun sesuatu yang tak dapat dimakan api.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham, bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.

C.    Perbedaan Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah
Paham Jabariayah dan Qadariyah dua aliran yang kelihatannya sangat berlawanan, Jabariyah menghilangkan usaha manusia, sedangkan Qadariyah menghilangkan campur tangan Tuhan dalam urusan manusia, akan tetapi pada prinsipnya tidak seorangpun yang bisa mengamalkan seratus persen salah satu aliran tersebut, sebab dalam sejarahnya orang yang paling Jabariah seperti sahabat Rasul yang konsen hidup di masjidpun mengeluh tentang kehidupan mereka, begitu pula orang yang sangat percaya akan kemampuannya sendiri seperti Firaun juga harus bersikap pasrah ketika terdesak oleh keadaan pada saat itu berupa ditenggelamkan dalam laut sehingga di meminta pertolongan Tuhan.
Sehingga sebagai manusia yang punya keterbatasan sebaiknya mengakomodir kedua aliran tersebut dengan cara mengambil jalan tengah seperti halnya aliran Maturidiyah, yaitu berusaha sambil berdoa.Meskipun demikian apapun pilihan manusia terhadap kedua aliran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi penganut Jabariah mereka akan kenyang dengan kebahagian dan kesejehteraan rohani, sedangkan Qadariyah akan sejahtera Jasmani.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedangkan paham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Dan dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya itu, Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan qadariyah itu memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya.
 




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat.disebut sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai bahwasannya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu atas kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantaranya adalah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan daya nya sendiri.
Kedua aliran diatas sagatlah bertolak belakang dalam setiap pendapat dan doktrin-doktrinnya, dan masing-masing memiliki landasan-landasan dari Al-Qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.

B.     Saran
Dalam menyusun makalah sejarah dan pemikiran kalam al-jabariyah dan kalam al-qodariah  pastilah makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu bagi para mahasiswa, pembaca dan khususnya kepada dosen ilmu kalam, kami sangat mengharapkan keritik dan saran.


DAFTAR PUSTAKA
v  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press, Cet ke-5.
v  As-Syahrastānī, Al Milal wa Al Nihal, Terjemahan Asywadie Syukur, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, h. 72.
v  http://ahmad-mubarak.blogspot.in/2008/09/Ilmu-Kalam.html?m=1 (online, di akses pada Rabu,  29 maret 2017 pukul 21.00 WIB)




[1] Luwis Ma’lul, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998, Hlm. 78.
[2] Asy-Syahratnasy Al-Milal Wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, Hlm.85.
[3] ) Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ui, Press, Cet, V, Jakarta, 1986, Hlm, 31.
[4] Ahmad Amin, Fajr Al Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li Ashhabiha Hasan Muhammad Wa Auladihi, Kairo, 1924, Hlm, 45.
[5] Nasution, Loc, Cit.
[6] Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Beuneuubi Cipta, Jakarta, 1987,Hlm, 27-29.