BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nu mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam
Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam
dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham Ahlusunnah Wal Jamaah dengan
menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU mengikuti ajaran
yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti
jalan pendekatan salah satu dari Muhammad bin Idris Assyafii dan Imam Ahmad bin
Hambal, dibidang tassawuf NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan
Imam Al ghazali serta Imam imam yang lain.
NU mengikuti pendirian bahwa, Islam adalah agama yang fitri,
yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham
keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai nilai yang baik
yang sudah ada dan menjadi cirri cirri suatu kelompok manusia, seperti suku
maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai nilai tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang masalah diatas, maka dapat di rumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja sikap kemasyarakatan NU
2. Bagaimana Akidah Dalam Nu?
3. Apa saja Syariat Dalam Nu?
4. Apa saja Sumber Hukum Islam?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sikap kemasyarakatan NU
2. Mengetahui akidah
Dalam Nu
3. Mengetahui Syariat Dalam Nu
4. Mengetahui Sumber Hukum Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sikap
Kemasyarakatan NU
Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU
ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk
memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU,
yaitu:
- Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’, dan al-Qiyas.
- Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Madzhab):
- Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
- Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
- Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah
agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah
dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat
menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta
ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa, dan tidak
bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap
kemasyarakatan NU yang bercirikan:
1.
Sikap
Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama.
Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan
yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta
menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2.
Sikap
Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam
masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi
masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.
Sikap
Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada
Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya.
Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
4.
Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik,
berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua
hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap
kemasyarakatan itu membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah
laku perorangan maupun organisasi yang :
- Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
- Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
- Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
- Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi.
- Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
- Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
- Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
- Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
- Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
- Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
- Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. AKIDAH DALAM NU
Bidang Akidah
Aswaja merupakan ajaran Islam yang
murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada
ajaran Aswaja dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni
Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahlusunah
Waljama’ah , pasti yang dimaksud adalah
golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa
al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud
adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari
(golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir
al-Janan wa al-Lisan, 7).
Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR
Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi,
“Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang
yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu
Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari
golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para
mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga
kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”.
Dua orang
inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada
kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah
al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang
sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam
Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada
tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu
keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya
meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang
bernama al-Jubba’i.
Karena menjadi
anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah,
sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan
ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga
posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak
orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah
tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.
C. SYARIAT DALAM
NU
Diantara mazhab bidang fiqih yang
paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat.[1] Mereka
menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah :
Pertama : Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa di sebut
Imam Hanafi. Lahir 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah
Persia, digelari Al-Imam Al-A’zham (Imam Agung, menjadi tokoh panutan di Iraq,
pengatu aliran ahlur ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj
istinbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi
rujukan utama Mahzab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya; imam Abu
Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
Kedua : Imam Malik bin Anas. Biasanya di sebut Imam Maliki.
Lahir 93 H, dan wafat 179 H di Madinah.
Malik, dikenal sebagai “Imam Dar Al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli
hadits sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya berjudul “Al-Muwatha’” di
nilai sebagai kitab hadits hukum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama
Ahlussunnah). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang
berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-maslahah al-mursalah dan
‘amal al-Ahl al-Madinah.
Ketiga : Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Biasa disebut
Imam Syafi’i. Lahir 150 H di Ghoza dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam
yafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits
dan Ahl Al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan
cukup waktu belaajr kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Baghdad. Dia adalah
murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi Istinbatnya ditulis menjadi buku
pertama dalam ushul fiqih berjudul ; al-Risalah. Pendapat-pendapa dan
fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Baghdad
disebut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama) dan yang disampaikan setelah berada di
Mesir disebut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru). Tentang ini semua telah
dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab “Al-Um”.
Keempat : Imam
Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali lahir 164 H di Baghdad. Imam
Hambali terkenal sebagai tokoh ahl-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah
seorang murid Imam Syafi’i sealma di Baghdad, dan sangat menghormati Imam
Syafi’i. Sampai Imam Syafi’i wafat masih selalu mendoakannya. Imam Ahmad bin
Hambal mewariskan sebuah kitab yang terkait dengan hukum Islam berjudul “Musnad
Ahmad”.
Alasan kenapa memilih empat Mazhab saja;
1.
kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika
disebut nama mereka hampir dipastikan mayorits umat Islam di dunia mengenal dan
tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.
2.
Keempat Imam Mazhab tersebut merupakan Imam Mujtahid
Mutlak Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan
Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh
perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat
Imam Mazhab itu. Beliau masih mengikuti Mahzab imam Syafi’i.
3.
Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara
konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk
yang masih terjaim keaslianya hingga saat ini.
4.
Ternyata para imam Imazhab itu mempunyai mata rantai
dan jaringan intelektual di antara mereka.
D. SUMBER HUKUM
ISLAM
Imam mazhab empat dalam menentukan
suatu hukum tidaklah semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan
tetapi selalu berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam
menentukan pilihan dasar hukum yang dijadikan pegangan utama, para imam Mazhab
empat berpedoman pada ayat 59 dalam surat An-Nisaa’:
artinya “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dengan demikian sumber hukum dasar
yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum oleh para Ulama NU menetapkan
menjadi empat adalah :
1.
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan
pertama dalam pengambilan hukum. Karena, Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang
merupakan petunjuk umat manusia dan di wajibkan untuk berpegang kepada
Al-Qur’an.
2.
As-Sunnah atau Al-Hadits : merupakan
wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni
As-Sunnah (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih,
juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalamal-Musnad IV/130).
Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama
Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Yang dimaksud As-Sunnah adalah
Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan
para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini.
3.
Al-Ijma’disebut
Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum
kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada
para sahabatnya dan para Mujtahid.
4.
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum
diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi
dasar penentu hukum. Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyaskn
suatu hukum harus diperhatikan empat hal, yaitu:
a) Asal yaitu
sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan
b) Far’un yaitu sesuatu yang belum diketahui
hukumnya dan dimaksudkan untuk diukur atau diserupakan dengan hukum asal.
c) Hukum asal
yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan menjadi hukum bagi
far’un.
d) Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau
menghubungkan antara asal (pokok) dengan far’un (cabang).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa : Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam
Bidang Akidah Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan
sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja
waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada
ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal
pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan
NU yang bercirikan:
a. Sikap Tawassuth dan I’tidal
b. Sikap Tasamuh
c. Sikap Tawazun
d. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Imam mazhab empat dalam menentukan
suatu hukum tidaklah semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan
tetapi selalu berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan
demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum
oleh para Ulama NU menetapkan menjadi empat adalah :
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadist atau As-Sunah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
DAFTAR PUSTAKA
KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999)
Muzadi, NU dalam Perspektif
Sejarah dan Ajaran;, 21-22, dan Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan
Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Kairo: Dar al-Hadits,
tth.), cet. I, 256.
http://grupsyariah.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-ahlussunnah-wal.html (online, diakses tanggal 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB)
0 comments:
Post a Comment