Sunshine

Ridnatul Hidayati
Metro, Lampung, Indonesia
View my complete profile
Feeds RSS
Feeds RSS

NU dan SIKAP KEAGAMAAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Nu mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari Muhammad bin Idris Assyafii dan Imam Ahmad bin Hambal, dibidang tassawuf NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan Imam Al ghazali serta Imam imam yang lain.
NU mengikuti pendirian bahwa, Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi cirri cirri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai nilai tersebut.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat di rumuskan sebagai berikut:
1.      Apa saja sikap kemasyarakatan NU
2.       Bagaimana Akidah Dalam Nu?
3.      Apa saja Syariat Dalam Nu?
4.      Apa saja Sumber Hukum Islam?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui sikap kemasyarakatan NU
2.       Mengetahui akidah Dalam Nu
3.      Mengetahui Syariat Dalam Nu
4.      Mengetahui Sumber Hukum Islam






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sikap Kemasyarakatan NU
Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU, yaitu:
  1. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’, dan al-Qiyas.
  2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Madzhab):
  3. Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
  4. Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
  5. Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU yang bercirikan:
1.      Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2.      Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.      Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
4.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan itu membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang :
  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
  2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
  3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi.
  5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
  6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
  7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
  8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
  9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
  10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
  11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

B.     AKIDAH DALAM NU
Bidang Akidah Aswaja  merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Aswaja dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahlusunah Waljama’ah  , pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”.
Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i.
Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.


C.    SYARIAT DALAM NU
Diantara mazhab bidang fiqih yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat.[1] Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah :
Pertama : Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa di sebut Imam Hanafi. Lahir 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam Al-A’zham (Imam Agung, menjadi tokoh panutan di Iraq, pengatu aliran ahlur ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama Mahzab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya; imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
Kedua : Imam Malik bin Anas. Biasanya di sebut Imam Maliki. Lahir  93 H, dan wafat 179 H di Madinah. Malik, dikenal sebagai “Imam Dar Al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya berjudul “Al-Muwatha’” di nilai sebagai kitab hadits hukum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama Ahlussunnah). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-maslahah al-mursalah dan ‘amal al-Ahl al-Madinah.
Ketiga : Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir 150 H di Ghoza dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam yafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl Al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belaajr kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi Istinbatnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih berjudul ; al-Risalah. Pendapat-pendapa dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama) dan yang disampaikan setelah berada di Mesir disebut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru). Tentang ini semua telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab “Al-Um”.
Keempat : Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali lahir 164 H di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh ahl-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i sealma di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’i wafat masih selalu mendoakannya. Imam Ahmad bin Hambal mewariskan sebuah kitab yang terkait dengan hukum Islam berjudul “Musnad Ahmad”.

Alasan kenapa memilih empat Mazhab saja;
1.      kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dipastikan mayorits umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.
2.      Keempat Imam Mazhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Mazhab itu. Beliau masih mengikuti Mahzab imam Syafi’i.
3.      Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjaim keaslianya hingga saat ini.
4.      Ternyata para imam Imazhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.


D.    SUMBER HUKUM ISLAM
Imam mazhab empat dalam menentukan suatu hukum tidaklah semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan tetapi selalu berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam menentukan pilihan dasar hukum yang dijadikan pegangan utama, para imam Mazhab empat berpedoman pada ayat 59 dalam surat An-Nisaa’:
 







artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dengan demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum oleh para Ulama NU menetapkan menjadi empat adalah :
1.      Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena, Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk umat manusia dan di wajibkan untuk berpegang kepada Al-Qur’an.
2.      As-Sunnah atau Al-Hadits : merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalamal-Musnad IV/130).
Al-Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Yang dimaksud As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini.
3.      Al-Ijma’disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
4.      Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi dasar penentu hukum. Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyaskn suatu hukum harus diperhatikan empat hal, yaitu:
a)      Asal yaitu sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan
b)      Far’un yaitu sesuatu yang belum diketahui hukumnya dan dimaksudkan untuk diukur atau diserupakan dengan hukum asal.
c)      Hukum asal yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan menjadi hukum bagi far’un.
d)     Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal (pokok) dengan far’un (cabang).






















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU yang bercirikan:
a.       Sikap Tawassuth dan I’tidal
b.      Sikap Tasamuh
c.       Sikap Tawazun
d.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Imam mazhab empat dalam menentukan suatu hukum tidaklah semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan tetapi selalu berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum oleh para Ulama NU menetapkan menjadi empat adalah :
a.       Al-Qur’an
b.      Al-Hadist atau As-Sunah
c.       Al-Ijma’
d.      Al-Qiyas



DAFTAR PUSTAKA

KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999)
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran;, 21-22, dan Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Kairo: Dar al-Hadits, tth.), cet. I, 256.
http://grupsyariah.blogspot.com/2012/10/sejarah-pertumbuhan-ahlussunnah-wal.html (online, diakses tanggal 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB)




[1].Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006. Hlm. 212

0 comments:

Post a Comment