BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak
lamban dan bertahap dibandingakan perkembangan kodifikasi Alquran. Hal ini
wajar saja karena Alquran pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun
sangat sederhana dan mulai dibutuhkan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari
Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman
bin Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani (Khathth ‘Usmani). Sedangkan
penulisan hadis pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa
pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan mengalami
kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah. Penghimpunan dan pengkodifikasian hadis dari
masa ke masa dan menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak. Perkembangan
penghimpunan dan pengkodifikasian hadis disini dibagi menjadi 7 periode.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa
BAB
II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang
telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1]
Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya
di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi
hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa
periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan
tujuh periode.[2]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi
tujuh periode[3]
sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1.
Periode
Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin'
(masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[4]
Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan
taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat
Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Nabi SAW menjadi pusat nara sumber, referensi dan tumpuan
pertanyaan ketika mereka menghadapi suatu masalah baik secara langsung atau tidak
langsung. Nabi SAW dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul
berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi
sebagai sumber hadis menjadi figure sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala
keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak
menyaksikannya karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan
tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan
hadis dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang di
dengar dari Rasullah baik ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis dari Rasullah.
Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Alquran diatas
alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi tidak demikian halnya
terhadap Al-Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk
dan bimbingan Nabi dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di
dalam Al-Quraan, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam
generasi mendatang selama Al-Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Di masa ini pula Rasullah SAW memberikan larangan penulisan
hadits yaitu untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis
wahyu memasukkan Al-Hadits kedalam lembaran-lembaran tulisan Al-Quran , karena
dianggapnya segala yang dikatakan Rasullah saw. Adalah wahyu semuanya.
Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu),
tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya,
hingga bercampur aduk antara Al-Quran dengan Al-Hadits.
Disamping Rasullah saw. melarang menulis Al-Hadits, beliau
juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis
Al-Hadits. Misalanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.
menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasullah
saw. Beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia.
Disamping itu , ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan,
antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah
Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat.
Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus
membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. telah dilakukan penulisan hadis di
kalangan sahabat. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang
menulis hadis, diantaranya :
a.
‘Abdullah
Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash Shadiqah
b.
Ali
Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga dan
lain-lain.
c.
Anas
Ibn Malik[5]
Kemudian para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak
langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah,
pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah
atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para
sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca
tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal,
memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari,
serta mentabligkannya kepada orang lain.
Dalam pemeliaharaan hadis Nabi mengandalkan hapalan para
sahabat yang pada umumnya mereka memiliki daya ingat dan daya apal yang kuat.
Hadis cukup diingat mereka dan disimpan dalam dada sedangkan Alquran disimpan
dalam tulisan dan dada mereka sekaligus. Kecuali bagi mereka yang kurang kuat
hapalannya atau memiliki kecakapan tulis-menulis atau bagus tulisannya tidak
ada kekhawatiran tercampur tulisan keduanya, maka diperbolehkan menulis hadis.
Penulisan hadis disini secara pribadi tidak untuk umum berfungsi untuk membantu
hapalan mereka karena intinya dihapal, setelah mereka hapal hadis-hadis
tersebut yang mereka catat kemudian catatan itu dibakar seperti yang dilakukan
oleh beberapa sahabat.
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadis
pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min
Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada
tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi
pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam
seluruh aspek kehidupan umat.[6]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatob,
periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas
dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, kedua khalifah melarang
para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan sebaliknya, beliau menekankan agar para
sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[7]
Kebijakan kedua Khalifah tersebut dapat dimaklumi, mengingat
bahwa masyarakat pada waktu itu selum seluruhnya mengenal Al-Quran sebagai
dasar syari’at yang pertama. Terutama bagi masyarakt yang baru saja menerima
dakwah Islamiyah, Alquran masih asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti
menghambat Al-Hadits untuk berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian
secar sempurna.
Dimasa ini beliau meriwayatkan hadis yakni dengan :
1.
Dengan lafazh asli, yakni menurut
lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari
Nabi.
2.
Dengan
maknanya saja yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli
dari Nabi SAW.[8]
Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul
lafadh aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang
benar-benar dibutuhkan disaat itu. System meriwayatkan hadist dengan maknanya
saja tidak dilarang oleh Rasullah saw. Berlainan dengan meriwayatkan Al-Quran
susunan bahasa dan maknaya sedikit pun tidak boleh diubah, baik dengan
mengganti lafadh muradlif (sinonim)-nya yang tidak mempengaruhi isinya,
teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu disebabkan karean
lafadh dan susunan kalimat Al-Quran itu merupakan mukjizat Allah SWT. Tetapi di
dalam meriwayatkan Al-Hadits yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafadh dan
susunan bahasanya diperbolehkan menggunakan lafadh dan susunan kalimat lain,
asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.
3. Periode Ketiga: Perkembangan pada
Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila
Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[9]
Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan
dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui
hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah
tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping
tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab,
perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Faktor lain yang menyebabkan para sahabat mengadakan
perlawatan ke berbagai wilayah untuk mencari hadis atau mencari ilmu karena
para sahabat senior pasca Khulafa Ar-Rasyidin (41-98H) telah pindah ke berbagai
kota lain pada masa perluasan ekspansi wilayah Islam.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, munculah bendaharawan
dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di
seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak meneriama, menghapal
dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
1.
Abu
Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan
menurut Al- Kirmany beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
2.
‘Abdullah
Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis
3.
‘Aisyah,
istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276
4.
‘Abullah
Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis
5.
Jabir
Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540
6.
Abu
Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1. 170 hadis.[10]
Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam
akibat konflik politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah. Terpecah menjadi
tiga golongan :
1.
Khawarij,
golongan pemberontak yang tidak suka dengan perdamaian (tahkim) dua golongan
yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali, tetapi kemudian
mereka keluar (Khawarij jamak dari kharij artinya keluar) dari dukungannya
terhadap Ali karena Ali menyetujui perdamaian.
2.
Syia’ah,
pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatic dan terjadi pengkultusan
terhadap Ali.
3.
Jumhur
muslim, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali, ada yagn mendukung
pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula netral tidak mau melibatkan diri dalam
kancah politik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadis
palsu(mawdhu) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan
atau partai-partai diatas dan untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa
inilah awal terjadinya hadis mawadhu dalam sejarah yang merupakan dampak
konflik politik secara internal.
Dari berbagai keterangan telah didapat catatan atau
penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan intruksi
seorang khalifah. Diantara dokumen penting adalah sebagai berikut :
1.
Ash-Shahifah
Ash-Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash(w.65 H). tulisan ini
berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-shahifah (lembaran),
memuat kuran lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan
kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini dokumentasi penting, ilmiah, dan
bersejarah karena ia tulis dengan tangannya sendiri dan mendapat izin dari
Rasullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-Shadiqah artinya benar-benar diterima
Nabi secara langsung tanpa ada perantara.
2.
Ash-Shahifah
Jabir bin ‘Abd Allah An-Anshari (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian
sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan
hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
3.
Ash-Shahifah
Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 131 H).
Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari sahabat besar Abu Hurairah, berisikan
kurang lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha
penggalian, pendidikan,dan pengembangan
hadis terdapat di:
1. Madinah, dengan tokoh-tokohnya : Abu
Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah. ‘Aisyah, Ibn Umar, Sa’id- Al Khudri, Zid Ibn
Tsabit (dari kalangan sahabat), ‘Urwah, Sa’id Az-Zuhri, ‘Abdullah Ibn Umar,
Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi’, Abu Bakar Ibn Ar-Rahman Ibn Hisyam
Dan Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
2. Mekah, dengan tokoh-tokohnya : Ali, ‘Abdullah Ibn Mas’ud,
Sa’ad Ibn Abi Waqas, Sa’id Ibn Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat, Salman Al-Farisi, Abu
Juhaifah (sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id Ibn
Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya’bi (tabiin)
3.
Bashrah, dengan tokoh-tokohnya : Anas
Ibn Malik, ‘Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah,
Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, ‘Abdullah Ibn Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah
(sahabat), Abu Al-Aliyah, Rafi’ Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad
Ibn Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn ‘Abdullah Ibn
Syikhkhir, Abu Bardah Raja’ Ibn Abi Musa (tabiin).
4. Syam, dengan tokoh-tokohnya : Mu’adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn
Tsamid, Abu Darda (sahabat), Abu Idris Al-Khulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul,
Raja’ Bn Haiwah (tabiin).
5. Mesir, dengan tokoh-tokohnya :
‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, ‘Abdullah Ibn
Harits, Abu Basyrah, Abu Saad Al-Khair, Martsad Al-Yaziri, Yazid Ibn Abi Habib
(tabi’in).[11]
4. Periode Keempat : Perkembangan
Hadits pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin
(masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[12]
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H,
yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[13]
Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis
dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukandan mengumpulkan dalam
buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan
lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam
barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah
meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120
H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu
Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita
yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades,
seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724
M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr
Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha
Madinah yang tujuh.[14]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur
yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang
tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan
hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah
Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[15]
Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh
Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai
seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan
hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari
khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits
:
1.
Pengumpul
pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.
Pengumpul
pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.
Pengumpul
pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.
Pengumpul
pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.
Pengumpul
pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6.
Pengumpul
pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7.
Pengumpul
pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8.
Pengumpul
pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.
Pengumpul
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits
Ibn Sa'ad (w. 175 H).[16]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli
pada abad kedua Hijriah. Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan
dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di
kalangan ahli hadis adalah:
1.
Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
2.
Al-Maghazi
wal Siyar, susunan
Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.
Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any
(211 H)
4.
Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.
Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198
H)
6.
Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.
Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8.
Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9.
Al-Maghazin
Nabawiyah, susunan
Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.
A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11.
Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12.
Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204
H).
Sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku tersebut yaitu
al-mushanaf, al-muwaththa’ dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah :
1.
Al-Mushanaf,
dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik
pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan didalamnya
mencantumkan hadis mafu’,mawquf dan maqthu. Misalnya al-mushanaf oleh
Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
2.
Al-Muwaththa’,
dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah al-muwaththa’
diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan
pada klasifikasi hokum fikih dan di dalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf
dan maqthu’. Misalnya al-muwaththa’ Imam Malik (w. 179 H) dan Al-Muwaththa’ Ibn
Dzi’ib Al-Marwazi (w. 158 H)
3.
Musnad,
dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadis
yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut,
sepetri Musnad Asy-Syafi’i. Berarti hadis-hadis yang dihimpun Asy-Syafi’I
sistematisnya disandarkan atau didasarkan nama para sahabat yang
meriwayatkannya.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah
Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu
Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits,
Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[18]
5. Periode Kelima: Masa Men-tashih-kan
Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis.
Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar
dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis,
mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain
untuk mencari hadis.[19]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang
terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang
pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula
meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke
Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qusariyah, `Asqalani,dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis
yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus
menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu
menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan
adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis, para ulama pun
melakukan hal-hal berikut:
a.
Membahas
keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman,
masa, dan lain-lain.
b.
Memisahkan
hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan
hadist.
U1ama hadist yang mula-mula menyaringdan membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang
palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih,
seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan
sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang
terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan
hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang
mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di
antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan
An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dan menjadi
buku Induk Hadis yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama hadis
berikutnya, yaitu :
1.
Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H)
2.
Al-Jami’ Ash-Shahih Muslirn bin Al-Hajjaj
Al-Qusyayri (204-261)
3.
Sunan Abu Dawud (202-276H)
4.
Jami
At-Tirmidzi (209-269)
5.
Sunan An-Nasa'i (215-303H)
6.
Sunan
Ibn Majah Al-Qazwini (209-276H)
Kitab-kitab
itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul
Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan
ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga
kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama
Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1. `Ali Ibnul Madany
2. Abu Hatim Ar-Razy
3. Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4. Muhammad Ibn Sa'ad
5. Ishaq Ibnu Rahawaih
6. Ahmad
7. Al-Bukhari
8. Muslim
9. An-Nasa'i
10. Abu Dawud
11. At-Tirmidzi
12. Ibnu Majah
13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.[20]
Sebagian ulama pada periode ini juga ada yang mengkodifikasi
hadis berdasarkan nama periwaya para sahabat yang diperolehnya antara lain :
1.
Al-Musnad,
susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al-‘Abasy
2.
Al-Musnad,
susunan Musaddad ibn Musarhad
3.
Al-Musnad,
susunan Asad Ibn Musa
4.
Al-Musnad,
susunan Abu Daud Ath Thayalisy (w. 204 H)
5.
Al-Musnad,
susunan Nu’aim ibn Hammad
6.
Al-Musnad,
susunan Abu Ya’ala Al-Maushuly
7.
Al-Musnad,
susunan Al-Humaidy
8.
Al-Musnad,
susunan ‘Ali Al-Madaidi
9.
Al-Musnad,
susunan ‘Abid ibn Humaid (249 H)
10.
Al-Musnadu
Al-Mu’allal, susunan Al-Bazzar
11.
Al-Musnad,
susunan Baqiy ibn Makhlad (201-296 H)
12.
Al-Musnad,
susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
13.
Al-Musnad,
susunan Muhammad ibn Nashr Al-Marwazy
14.
Al-Musnad,
susunan Ahmad ibn Ahmad
15.
Al-Musnad,
susunan Abu Bakr ibn Abi Syaibah (235 H)
16.
Al-Musnad,
susunan Abu Al-Qasim Al-Bagdawy (214 H)
17.
Al-Musnad,
susunan ‘Utsman ibn Abi Syibah (239 H)
18.
Al-Musnad,
susunan Abdul Husain ibn Muhammad Al-Masarkhasy(298H)
19.
Al-Musnad,
susunan Ad-Darimi
20.
Al-Musnad,
susunan Sa’id ibn Mansur (227 H)
21.
Tahdzibu
Al-‘Atsarm, susunan Al-Imam ibnu Jarir
22.
Al-jami’u
Ash-Shahih, susunan Bukhari
23.
Al-jami’u
Ash-Shahih, susunan Muslim
24.
As-Sunan,
susunan An-Nasa’i
25.
As-Sunan,
susunan Abu Dawud
26.
As-Sunan,
susunan At-Tirmidzi
27.
As-Sunan,
susunan Ibnu Majah
28.
Al-Muntaqa,
susunan Ibnu Al-Jarud
29.
Ath-Thabaqat,
susunan Ibnu Sa’ad.[21]
Perkembangan pembukuan hadis pada
periode ini ada 3 bentuk yaitu:
1.
Musnad,
adalah menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atu topiknya, tidak perbab seperti fikih dan kualitas hadisnya yang
shahih, hasan dan dha’if. Misalnya Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Musnad
Ahmad bin Rahawaih.
2.
Al-Jami’,
adalah teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqa’id,
hokum, perbudakan (riqaq),adab makan minum, tafsir, tarikh, dan sejarah,
sifat-sifat akhlak (syama’il), fitnah(fitan) dan sejarah (manaqib). Misalnya
Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Bukhari dan Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim.
3.
Sunan,
adalah teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fikih, setiap bab membuat
beberapa hadis dalam satu topic. Misalnya Sunan An-Nisa’I dan Sunan Abu Dawud.
6. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga
Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H,
yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru
At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[22]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3,
digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata
berpegang pada usaha sendiridan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di
setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat.
Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'.
Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak
terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.
Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.
At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4.
Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
5.
Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
Di
antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.
Mengumpulkan
Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan
hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh
Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn
Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq
Al-Asybily(582 H).
2.
Mengumpulkan
hadis-hadis dalam kitab enam. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis
kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami'
oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama
Ibnul Kharrat (582 H).
3.
Mengumpukan
hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh
Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab,
oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh
Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.
Mengumpulan
hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf. Diantara kitab-kitab yang mengumpulkan
hadis hokum adalah Muntaqal Akbar, As-Sunannul Kubra dan Al-Ahkamus Sughra.[24]
Perkembangan teknik pembukuan hadis
pada abad ini yakni abad 4-6 H sebagai berikut :
1.
Mu’ajam,
artinya penghimpunan hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad
(alphabet) seperti Al-Mu’ajam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w.360
H). Atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan Hadis didasarkan pada nama
masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti
Al-Mu’ajam Al-Awsath oleh penulis yang sama.
2.
Shahih,
artinya metode pembukuan mengikuti metode pembukuan hadis Shahihayn (Al-Buhkari
dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadis yang shahih saja menurut penulisnya
seperti Shahih bin Hibban Al-Bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
3.
Al-Mustadrak,
artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab
Al-Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya,
seperti Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim
An-Naisaburi (w. 405 H)
4.
Sunan,
artinya metode penulisannya seperti kitab sunan Abad sebelumnya yaitu
cakupannya hadis-hadis tentang hokum sepeti fikih kualitasnya meliputi shahih,
hasan dan dha’if seperti Muntaqa Ibn Al-Jarud (w. 307 H)
5.
Syarah,
artinya penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama
maksud dan makna matan hadis atau pemecahan jika terjadi kontradiksi dengan
ayat atau hadis lain, misalna Syarh Ma’ani Al-Atsar dan Syarah Musykil Al-Atsar
ditulis Ath-Thahawi (w. 321 H).
6.
Mustakhraj,
artinya seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah
buku hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad
sendiri, misalnya MustkhrajAbi Bakr Al-Isma’ili ala Shahih Al-Bukhari (w. 371
H).
7.
Al-Jum’u,
artinya gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam’u Bayn
Ash-Shahihyn yang ditulis oleh Isma ‘il bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu
Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam’u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin Mas ‘ud
Al-Baghawi (w.516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan Shahihayn,
Al-Muwaththa’, dan kitab-kitab sunan selain Ibnu Majah, ditulis oleh Abu
Al-hasan Razin bin Mu’awiyah As-Sirqisthi’ (w. 535 H) dan Jami’ Al-Ushul li
Ahadits Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan
enam kitab hadis.
Perkemabangan penulisan hadis pada abad intinya adalah
menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu secara tematik, baik dari matan
dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat islam untuk mempelajarinya sebagai
berikut :
1.
Al-Mawdhu’at,
yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu (palsu) saja ke dalam sebuah buku,
seperti Al-Mawdhu’at ditulis oleh Al-Asbahani (w.414 H).
2.
Al-Ahkam,
yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hokum saja seperti fikih, misalnya
Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H).
3.
Al-Athraf,
yaitu teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja,
misalnya Athraf al-kutub al-sittah (Atgaf kitab enam yaitu Shahihayn dan
kitab-kitab Sunan selain Ibn Majah) ditulis oleh Al-Maqdish dikenal Ibnu
Al-Qisrani (w. 507 H).
4.
Takhrij,
yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis
atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan
kualitasnya. Misalnya Irwa’ Al-Ghalil fi Tkhrij Ahadits Manmar Al-Sabil oleh
Nashiruddin Al-Albani.
5.
Zawa’id,
yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti musnad dan Mu’jam ke
beberapa buku induk hadis. Misalnya Majma’Al-Zawa’id wa Manba’ Al-Fawa’id
ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H).
6.
Jawami’
atau Jami’, yaitu sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi secara
mutlak, seperti Al-Jami’ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami’ Al-Jawami
dan Al-Jami’ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).[25]
7. Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah
Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini
dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu
masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[26]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah
menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij,
serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu
usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id
As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi
kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini
mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah
kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami' Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami'ul
Jawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis
yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada
masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan
nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis
TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi
Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak
lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul
ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf
Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf
Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan
masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah: (1)
Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq Al-`Ied, (4)
Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7)
Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy
(742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762
H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805
H), (` 7) Al-`Iraqy (w. 806 H), ,(18) Al-Haitsamy (807 H), dan (19) A’ u Zurah
(826 H).[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Penyebab
dari Kodifikasi Hadist itu sendiri dikarenakan telah banyaknya para sahabat atau
ulama penghapal hadist yang meninggal dunia.
2.
Penyebab
Kedua adalah banyaknya beredar Hadist-hadist palsu sehingga perlunya kodifikasi
hadist yang mulai dilaksanakan secara perdana dan massal pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. Yang mereka hanya memperkuat eksistensi golongan
dan ras mereka saja.
3.
Pada
Kodifikasi Hadist ini melahirkan berbagai ulama dan tokoh-tokoh Seperti yang
kita kenal sampai sekarang yaitu Perawi Hadist-hadist shahih seperti Imam
Bukhari dan Muslim, At-Tharmidzi, Abu Daud, dan lain-lain yang masih
banyak lagi.
4.
Dari
sejarah kodifikasi hadist ini, kita bisa mengetahui kapan masa jaya, kapan masa
kodifikasi yang banyak memunculkan para ulama ahli hadist yang banyak menghasilkan
kitab-kitab hadist dan pada masa periode siapa kitab-kitab hadist shahih
bermunculan, mulai dari pertama kali di kodifikasi sampai pada masa periode
terakhir kemunduran islam itu sendiri.
B. SARAN
Dalam menyusun
makalah perkembangan hadis pada masa Rasulullah sampai sekarang pastilah makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu bagi para mahasiswa, pembaca dan khususnya kepada
dosen pembimbing ulumul hadis, kami sangat mengharapkan keritik dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadist.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001
Solahuddin, Drs. M. agus .M.Ag. Agus suyadi,
Lc., M.Ag. 2008. Ulumul Hadis. Cet.
Ke-1 . Bandung. Cv. Pustaka Setia
Khon.
Dr. H. Abdul Majid, M. Ag. Ulumul Hadis.
Jakarta : Amzah. 2008
Rahman,
Drs. Fatchur. Ikhtishar. Yogyakarta:
PT Alma’arif Bandung. 1970
[1]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar
Pustaka. 2005, hlm. 29.
[2]
Ibid. hlm. 30
[3] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46
[4]
Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti
Sjamsijah. 1965.hlm 13.lihat juga Soetari. Op.cit. hlm.33
[5]
Soetari. Op.cit. hlm. 37
[6] Ibid. hlm. 41-46. Lihat juga
Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit. hlm.
17-18.
[7]
Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 62.
[8]
Ibid. hlm. 63.
[9]
Ibid. hlm. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 69-78
[10]
Soetari. Op.cit. hlm.48
[11]
Ibid. hlm. 48-49. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 74-76
[12]
Ibid. hlm. 78-88
[13]
Soetari. Op.cit.hlm.54
[14]
Ketujuh
Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman,
Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn
Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[15]
Az-Zuhri menerima hadits dari
Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn
Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
[16]
Ibid.hlm. 81
[17]
Ibid.hlm. 83
[18]
Ibid.hlm. 88
[19]
Ibid.hlm. 89-104
[20]
Ibid.hlm. 101-102
[21]
Ibid. hlm. 103
[22]
Umarie. op.cit.hlm.20. lihat Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 114-126
[23]
Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm.115-116
[24]
Ibid. hlm. 119-121
[25]
Az-Zahrani Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 246
[26]Umarie. op. cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy.
op. cit. hlm. 126-134.
[27] Ibid. hlm. 132.
0 comments:
Post a Comment