Sunshine

Ridnatul Hidayati
Metro, Lampung, Indonesia
View my complete profile
Feeds RSS
Feeds RSS

sejarah perkembangan hadis (ulumul hadits)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingakan perkembangan kodifikasi Alquran. Hal ini wajar saja karena Alquran pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana dan mulai dibutuhkan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani (Khathth ‘Usmani). Sedangkan penulisan hadis pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah. Penghimpunan dan pengkodifikasian hadis dari masa ke masa dan menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak. Perkembangan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis disini dibagi menjadi 7 periode.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa 



BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[2]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode[3] sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1.      Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[4] Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Nabi SAW menjadi pusat nara sumber, referensi dan tumpuan pertanyaan ketika mereka menghadapi suatu masalah baik secara langsung atau tidak langsung. Nabi SAW dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figure sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadis dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang di dengar dari Rasullah baik ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis dari Rasullah.
Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Alquran diatas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi tidak demikian halnya terhadap Al-Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam Al-Quraan, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama Al-Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Di masa ini pula Rasullah SAW memberikan larangan penulisan hadits yaitu untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits kedalam lembaran-lembaran tulisan Al-Quran , karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasullah saw. Adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al-Quran dengan Al-Hadits.
Disamping Rasullah saw. melarang menulis Al-Hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Al-Hadits. Misalanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasullah saw. Beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia.
Disamping itu , ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. telah dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, diantaranya :
a.       ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash Shadiqah
b.      Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga dan lain-lain.
c.       Anas Ibn Malik[5]
Kemudian para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan dan  memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Dalam pemeliaharaan hadis Nabi mengandalkan hapalan para sahabat yang pada umumnya mereka memiliki daya ingat dan daya apal yang kuat. Hadis cukup diingat mereka dan disimpan dalam dada sedangkan Alquran disimpan dalam tulisan dan dada mereka sekaligus. Kecuali bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis-menulis atau bagus tulisannya tidak ada kekhawatiran tercampur tulisan keduanya, maka diperbolehkan menulis hadis. Penulisan hadis disini secara pribadi tidak untuk umum berfungsi untuk membantu hapalan mereka karena intinya dihapal, setelah mereka hapal hadis-hadis tersebut yang mereka catat kemudian catatan itu dibakar seperti yang dilakukan oleh beberapa sahabat.

2.      Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[6]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatob, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, kedua khalifah melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan  sebaliknya, beliau menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[7]
Kebijakan kedua Khalifah tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu selum seluruhnya mengenal Al-Quran sebagai dasar syari’at yang pertama. Terutama bagi masyarakt yang baru saja menerima dakwah Islamiyah, Alquran masih asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan berarti menghambat Al-Hadits untuk berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secar sempurna.
Dimasa ini beliau meriwayatkan hadis yakni dengan :
1.       Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.[8]
Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul lafadh aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar dibutuhkan disaat itu. System meriwayatkan hadist dengan maknanya saja tidak dilarang oleh Rasullah saw. Berlainan dengan meriwayatkan Al-Quran susunan bahasa dan maknaya sedikit pun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafadh muradlif (sinonim)-nya yang tidak mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan makna. Hal itu disebabkan karean lafadh dan susunan kalimat Al-Quran itu merupakan mukjizat Allah SWT. Tetapi di dalam meriwayatkan Al-Hadits yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafadh dan susunan bahasanya diperbolehkan menggunakan lafadh dan susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan maknanya tidak berubah.
3.      Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[9] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Faktor lain yang menyebabkan para sahabat mengadakan perlawatan ke berbagai wilayah untuk mencari hadis atau mencari ilmu karena para sahabat senior pasca Khulafa Ar-Rasyidin (41-98H) telah pindah ke berbagai kota lain pada masa perluasan ekspansi wilayah Islam.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, munculah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak meneriama, menghapal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
1.      Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan menurut Al- Kirmany beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
2.      ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis
3.      ‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276
4.      ‘Abullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis
5.      Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540
6.      Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1. 170 hadis.[10]
Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah. Terpecah menjadi tiga golongan :
1.      Khawarij, golongan pemberontak yang tidak suka dengan perdamaian (tahkim) dua golongan yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali, tetapi kemudian mereka keluar (Khawarij jamak dari kharij artinya keluar) dari dukungannya terhadap Ali karena Ali menyetujui perdamaian.
2.      Syia’ah, pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatic dan terjadi pengkultusan terhadap Ali.
3.      Jumhur muslim, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali, ada yagn mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah politik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadis palsu(mawdhu) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai diatas dan untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya hadis mawadhu dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal.
Dari berbagai keterangan telah didapat catatan atau penulisan hadis sebelum pengkodifikasian secara resmi berdasarkan intruksi seorang khalifah. Diantara dokumen penting adalah sebagai berikut :
1.      Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash(w.65 H). tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kuran lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lain. Ash-Shahifah ini dokumentasi penting, ilmiah, dan bersejarah karena ia tulis dengan tangannya sendiri dan mendapat izin dari Rasullah. Oleh karena itu dinamakan Ash-Shadiqah artinya benar-benar diterima Nabi secara langsung tanpa ada perantara.
2.      Ash-Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah An-Anshari (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan hadis-hadisnya secara imlak atau dikte.
3.      Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 131 H). Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari sahabat besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di:
1.      Madinah, dengan tokoh-tokohnya : Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah. ‘Aisyah, Ibn Umar, Sa’id- Al Khudri, Zid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), ‘Urwah, Sa’id Az-Zuhri, ‘Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi’, Abu Bakar Ibn Ar-Rahman Ibn Hisyam Dan Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
2.       Mekah, dengan tokoh-tokohnya : Ali, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, Sa’ad Ibn Abi Waqas, Sa’id Ibn Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat, Salman Al-Farisi, Abu Juhaifah (sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id Ibn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya’bi (tabiin)
3.        Bashrah, dengan tokoh-tokohnya : Anas Ibn Malik, ‘Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, ‘Abdullah Ibn Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu Al-Aliyah, Rafi’ Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn ‘Abdullah Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja’ Ibn Abi Musa (tabiin).
4.       Syam, dengan tokoh-tokohnya : Mu’adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamid, Abu Darda (sahabat), Abu Idris Al-Khulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ Bn Haiwah (tabiin).
5.      Mesir, dengan tokoh-tokohnya : ‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, ‘Abdullah Ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Saad Al-Khair, Martsad Al-Yaziri, Yazid Ibn Abi Habib (tabi’in).[11]


4.      Periode Keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[12]
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[13] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan  mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[14]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[15] Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
1.      Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
2.      Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
3.      Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
4.      Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
5.      Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
6.      Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
7.      Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
8.      Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
9.      Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
10.  Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).[16]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah. Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1.      Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
2.      Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3.      Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4.      Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5.      Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6.      Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7.      Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8.      Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
9.      Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
10.  A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
11.  Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12.  Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13.  Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.[17]
Sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku tersebut yaitu al-mushanaf, al-muwaththa’ dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah :
1.      Al-Mushanaf, dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan didalamnya mencantumkan hadis mafu’,mawquf dan maqthu. Misalnya al-mushanaf oleh Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
2.      Al-Muwaththa’, dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah al-muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan di dalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf dan maqthu’. Misalnya al-muwaththa’ Imam Malik (w. 179 H) dan Al-Muwaththa’ Ibn Dzi’ib Al-Marwazi (w. 158 H)
3.      Musnad, dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadis yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, sepetri Musnad Asy-Syafi’i. Berarti hadis-hadis yang dihimpun Asy-Syafi’I sistematisnya disandarkan atau didasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[18]

5.      Periode Kelima: Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.[19]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan  Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
a.       Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.      Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist.
U1ama hadist yang mula-mula menyaringdan  membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dan menjadi buku Induk Hadis yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama hadis berikutnya, yaitu :
1.      Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H)
2.       Al-Jami’ Ash-Shahih Muslirn bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261)
3.       Sunan Abu Dawud (202-276H)
4.      Jami  At-Tirmidzi (209-269)
5.       Sunan An-Nasa'i (215-303H)
6.      Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-276H)
Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1.      `Ali Ibnul Madany
2.      Abu Hatim Ar-Razy
3.      Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4.      Muhammad Ibn Sa'ad
5.      Ishaq Ibnu Rahawaih
6.      Ahmad
7.      Al-Bukhari
8.      Muslim
9.      An-Nasa'i
10.  Abu Dawud
11.  At-Tirmidzi
12.  Ibnu Majah
13.  Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.[20]
Sebagian ulama pada periode ini juga ada yang mengkodifikasi hadis berdasarkan nama periwaya para sahabat yang diperolehnya antara lain :
1.      Al-Musnad, susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al-‘Abasy
2.      Al-Musnad, susunan Musaddad ibn Musarhad
3.      Al-Musnad, susunan Asad Ibn Musa
4.      Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath Thayalisy (w. 204 H)
5.      Al-Musnad, susunan Nu’aim ibn Hammad
6.      Al-Musnad, susunan Abu Ya’ala Al-Maushuly
7.      Al-Musnad, susunan Al-Humaidy
8.      Al-Musnad, susunan ‘Ali Al-Madaidi
9.      Al-Musnad, susunan ‘Abid ibn Humaid (249 H)
10.  Al-Musnadu Al-Mu’allal, susunan Al-Bazzar
11.  Al-Musnad, susunan Baqiy ibn Makhlad (201-296 H)
12.  Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
13.  Al-Musnad, susunan Muhammad ibn Nashr Al-Marwazy
14.  Al-Musnad, susunan Ahmad ibn Ahmad
15.  Al-Musnad, susunan Abu Bakr ibn Abi Syaibah (235 H)
16.  Al-Musnad, susunan Abu Al-Qasim Al-Bagdawy (214 H)
17.  Al-Musnad, susunan ‘Utsman ibn Abi Syibah (239 H)
18.  Al-Musnad, susunan Abdul Husain ibn Muhammad Al-Masarkhasy(298H)
19.  Al-Musnad, susunan Ad-Darimi
20.  Al-Musnad, susunan Sa’id ibn Mansur (227 H)
21.  Tahdzibu Al-‘Atsarm, susunan Al-Imam ibnu Jarir
22.  Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Bukhari
23.  Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim
24.  As-Sunan, susunan An-Nasa’i
25.  As-Sunan, susunan Abu Dawud
26.  As-Sunan, susunan At-Tirmidzi
27.  As-Sunan, susunan Ibnu Majah
28.  Al-Muntaqa, susunan Ibnu Al-Jarud
29.  Ath-Thabaqat, susunan Ibnu Sa’ad.[21]
Perkembangan pembukuan hadis pada periode ini ada 3 bentuk yaitu:
1.      Musnad, adalah menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atu topiknya, tidak perbab seperti fikih dan kualitas hadisnya yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Musnad Ahmad bin Rahawaih.
2.      Al-Jami’, adalah teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqa’id, hokum, perbudakan (riqaq),adab makan minum, tafsir, tarikh, dan sejarah, sifat-sifat akhlak (syama’il), fitnah(fitan) dan sejarah (manaqib). Misalnya Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Bukhari dan Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim.
3.      Sunan, adalah teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fikih, setiap bab membuat beberapa hadis dalam satu topic. Misalnya Sunan An-Nisa’I dan Sunan Abu Dawud.

6.      Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[22]
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.        Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.        At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.        Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4.        Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
5.        Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
6.        Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.[23]
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.      Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily(582 H).
2.      Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3.      Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
4.      Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf. Diantara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hokum adalah Muntaqal Akbar, As-Sunannul Kubra dan Al-Ahkamus Sughra.[24]
Perkembangan teknik pembukuan hadis pada abad ini yakni abad 4-6 H sebagai berikut :
1.      Mu’ajam, artinya penghimpunan hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-Mu’ajam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w.360 H). Atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan Hadis didasarkan pada nama masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-Mu’ajam Al-Awsath oleh penulis yang sama.
2.      Shahih, artinya metode pembukuan mengikuti metode pembukuan hadis Shahihayn (Al-Buhkari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadis yang shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih bin Hibban Al-Bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
3.      Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya, seperti Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H)
4.      Sunan, artinya metode penulisannya seperti kitab sunan Abad sebelumnya yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hokum sepeti fikih kualitasnya meliputi shahih, hasan dan dha’if seperti Muntaqa Ibn Al-Jarud (w. 307 H)
5.      Syarah, artinya penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahan jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis lain, misalna Syarh Ma’ani Al-Atsar dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-Thahawi (w. 321 H).
6.      Mustakhraj, artinya seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah buku hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya MustkhrajAbi Bakr Al-Isma’ili ala Shahih Al-Bukhari (w. 371 H).
7.      Al-Jum’u, artinya gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam’u Bayn Ash-Shahihyn yang ditulis oleh Isma ‘il bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam’u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin Mas ‘ud Al-Baghawi (w.516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan Shahihayn, Al-Muwaththa’, dan kitab-kitab sunan selain Ibnu Majah, ditulis oleh Abu Al-hasan Razin bin Mu’awiyah As-Sirqisthi’ (w. 535 H) dan Jami’ Al-Ushul li Ahadits Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan enam kitab hadis.
Perkemabangan penulisan hadis pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu secara tematik, baik dari matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat islam untuk mempelajarinya sebagai berikut :
1.      Al-Mawdhu’at, yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu (palsu) saja ke dalam sebuah buku, seperti Al-Mawdhu’at ditulis oleh Al-Asbahani (w.414 H).
2.      Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hokum saja seperti fikih, misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H).
3.      Al-Athraf, yaitu teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya Athraf al-kutub al-sittah (Atgaf kitab enam yaitu Shahihayn dan kitab-kitab Sunan selain Ibn Majah) ditulis oleh Al-Maqdish dikenal Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
4.      Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya Irwa’ Al-Ghalil fi Tkhrij Ahadits Manmar Al-Sabil oleh Nashiruddin Al-Albani.
5.      Zawa’id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti musnad dan Mu’jam ke beberapa buku induk hadis. Misalnya Majma’Al-Zawa’id wa Manba’ Al-Fawa’id ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H).
6.      Jawami’ atau Jami’, yaitu sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi secara mutlak, seperti Al-Jami’ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami’ Al-Jawami dan Al-Jami’ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).[25]



7.      Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[26]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan  Jami'ul  Jawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah: (1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq Al-`Ied, (4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7) Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy (742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762 H), (14) Ibnu Rajab (795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805 H), (` 7) Al-`Iraqy (w. 806 H), ,(18) Al-Haitsamy (807 H), dan (19) A’ u Zurah (826 H).[27]

























BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Penyebab dari Kodifikasi Hadist itu sendiri dikarenakan telah banyaknya para sahabat atau ulama penghapal hadist yang meninggal dunia.
2.      Penyebab Kedua adalah banyaknya beredar Hadist-hadist palsu sehingga perlunya kodifikasi hadist yang mulai dilaksanakan secara perdana dan massal pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. Yang mereka hanya memperkuat eksistensi golongan dan ras mereka saja.
3.      Pada Kodifikasi Hadist ini melahirkan berbagai ulama dan tokoh-tokoh Seperti yang kita kenal sampai sekarang yaitu Perawi Hadist-hadist shahih seperti Imam Bukhari dan Muslim, At-Tharmidzi, Abu Daud, dan lain-lain yang  masih banyak lagi.
4.      Dari sejarah kodifikasi hadist ini, kita bisa mengetahui kapan masa jaya, kapan masa kodifikasi yang banyak memunculkan para ulama ahli hadist yang banyak menghasilkan kitab-kitab hadist dan pada masa periode siapa kitab-kitab hadist shahih bermunculan, mulai dari pertama kali di kodifikasi sampai pada masa periode terakhir kemunduran islam itu sendiri.

B.      SARAN
     Dalam menyusun makalah perkembangan hadis pada masa Rasulullah sampai sekarang pastilah makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu bagi para mahasiswa, pembaca dan khususnya kepada dosen pembimbing ulumul hadis, kami sangat mengharapkan keritik dan saran.





DAFTAR PUSTAKA

Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001
Solahuddin, Drs. M. agus .M.Ag. Agus suyadi, Lc., M.Ag. 2008. Ulumul Hadis. Cet. Ke-1 . Bandung. Cv. Pustaka Setia         
Khon. Dr. H. Abdul Majid, M. Ag. Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah. 2008
Rahman, Drs. Fatchur. Ikhtishar. Yogyakarta: PT Alma’arif Bandung. 1970


[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
[2] Ibid. hlm. 30
[3] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46
[4] Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965.hlm 13.lihat juga Soetari. Op.cit. hlm.33
[5] Soetari. Op.cit. hlm. 37
[6] Ibid. hlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit. hlm. 17-18.
[7] Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 62.
[8] Ibid. hlm. 63.
[9] Ibid. hlm. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 69-78
[10] Soetari. Op.cit. hlm.48
[11] Ibid. hlm. 48-49. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 74-76
[12] Ibid. hlm. 78-88
[13] Soetari. Op.cit.hlm.54
[14] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[15] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.

[16] Ibid.hlm. 81
[17] Ibid.hlm. 83
[18] Ibid.hlm. 88
[19] Ibid.hlm. 89-104
[20] Ibid.hlm. 101-102
[21] Ibid. hlm. 103
[22] Umarie. op.cit.hlm.20. lihat Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 114-126
[23] Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm.115-116
[24] Ibid. hlm. 119-121
[25] Az-Zahrani Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 246
[26]Umarie. op. cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. cit. hlm. 126-134.
[27] Ibid. hlm. 132.

0 comments:

Post a Comment